Advokasi Feminitas dalam Struktur Sosial dan Siklus Produksi

Nathania Aviandra
6 min readJul 6, 2020

Konstruksi pandangan yang netral terhadap laki-laki dan perempuan dalam politik internasional ini awalnya dari critical theory yang bilang kalau,

KNOWLEDGE HAS BEEN CREATED BY MEN AND IS ABOUT MEN.

Cukup menimbulkan kesan bahwa struktur yang ada hanya fokus pada asumsi dan peran kaum maskulin dalam politik internasional. Pada dasarnya, pola yang dari awal sudah seperti ini yang membuat peran kaum feminin in the discipline is getting marginalized. Karakteristik gender relation ini sudah nggak adil sih dari awal; biasanya lebih ke maskulin. Case studies-nya di sini kalo kata dosen saya ada di orang-orang yang masih terjebak social totality. Nah, masalahnya struktur yang ada sekarang ini makes such division of characteristics unequal in a way that make man gets more positive characteristics than woman. Struktur ini yang bersifat.. I would say oppressive dan makanya bermasalah.

Konsep ‘menyetarakan’ yang mau saya bahas bukan dari maskulin-feminin juga sih, tapi balik lagi ke konsep feminisme itu sendiri dalam menyetarakan perempuan sebagai individu, bukan kelompok, supaya lepas dari jerat ‘social totality’.

Kalau yang selama ini saya lihat dari perspektif para ‘sjw’ dan semacamnya (hm.. ok), karena mereka mengadopsi pemikiran liberal, struktur yang sekarang itu salah jadi harus diluruskan. Mereka mau ada produk yang jelas tentang equal treatment of men and women, misalnya ada Undang-Undang khususnya, atau ada dimensi perempuan dalam kebijakan luar negeri. Menurut orang-orang feminis, dengan adanya keterlibatan perempuan maka para pengambil kebijakan akan lebih ‘sensitif’ akan sebuah isu (mungkin??). Hal seperti ini berhubungan dengan masalah equal education yang sudah ada dari abad ke-18. Ada stereotip bahwa perempuan lebih emosional (kemudian hal ini dilanggengkan) sehingga proses pengambilan keputusannya dianggap tidak rasional, sementara rasionalitas itu diajarkan di sekolah. Advokasinya, kalau perempuan ingin mendapatkan kapasitas rasional juga, makanya harus disekolahkan juga. Lama-kelamaan advokasinya berkembang, sudah mendapatkan pendidikan, kemudian mulai muncul pertanyaan seperti, “perempuannya sudah sekolah lalu mau ngapain?”. But, leave it there..

Mulai masuk abad ke-20, muncul keresahan yang berbeda; sameness vs difference, dalam pembuatan hukum ada yang salah dalam struktur sosial; bukan setara dengan laki-laki, tetapi perempuan sama dengan laki-laki. Secara natural memang perempuan dan laki-laki itu nggak sama, kita minta disetarakan (perempuan tidak perlu berusaha keras untuk menyamakan dirinya dengan laki-laki untuk mencapai kesetaraan).

Relevan sama isu yang lagi marak juga (sampai) sekarang, kesetaraan perempuan dan laki-laki di ruang publik, jadi lebih sulit karena di ruang privat tetap didominasi oleh pekerjaan perempuan (di rumah), makanya mereka otomatis akan terganjal untuk menggapai kesetaraan di ‘luar rumah’. Hal tersebut bisa dirubah dengan adanya sharing burden, sih.

Kemudian abad selanjutnya gerakan feminis mulai mengajak kaum maskulin untuk against patriarki, struktur sosial tidak punya punishment mechanism. Dengan adanya struktur ini laki-laki sebenarnya juga disusahkan, hobinya terbatas, perempuan tidak mendapat kebebasan di luar, begitu pun kaum maskulin. Contoh konkret yang paling kelihatan, kalau laki-laki di rumah aja lalu kerjanya bersih-bersih, pasti langsung kena julid. Gerakan feminisme ini jadi bukan hanya perempuan yang advokasi, tapi laki-laki juga.

Kemudian muncul pemikiran lain; critical feminism, yang bilang kalau struktur patriarkinya yang bermasalah. Ya memang critical feminism ini cenderung marxis, sih. Mereka ingin ide-idenya yang dilembagakan, tapi ada institusi agama dan sosial yang bilang kalau perempuan nggak bisa setara dengan laki-laki (pemimpin institusi itu laki-laki). Ambil contoh Margaret Thatcer, satu-satunya perdana menteri perempuan di Inggris. Beliau saat jadi perdana menteri tetap memarjinalkan orang-orang, cara berpikirnya tetap maskulin, tetap agresif; nggak percaya social security. Hal ini yang dimaksud, bukan yang penting perempuannya, tapi ide feminine-nya. Perilaku beliau seperti itu karena tetap disokong oleh struktur patriarki.

Makanya yang harus disetarakan itu ide-ide feminine-nya.

Ide tentang perempuan yang harusnya doing housework is a false consciousness. Padahal chores itu cape, buang tenaga, tapi perempuan diajari bahwa it is natural for you. Mereka harus melakukan hal itu bahkan ketika tidak dibayar. Ini juga bagian dari siklus produksi. Mereka sebenarnya memiliki peran penting dalam reproduksi tenaga kerja produktif yang diperlukan dalam perekonomian, tetapi pada kenyataannya hal tersebut masih kurang mendapat perhatian dalam lingkup ekonomi. Harus belanja, masak, kasih makan suami biar suaminya bisa bekerja, karena kalau kebutuhan tersebut tidak terpenuhi bisa jadi alasan kinerja karyawan menurun, nanti pengaruh ke perusahaan lalu berdampak pada ekonomi makro, dst.

Perempuan punya andil dalam siklus produksi, tapi kenapa ga ada bayarannya?

Unequal salary as women are expected to be less productive

Ibu rumah tangga memang jadi yang paling didiskriminasi dan teralienasi sih (under-paid labours). Saya nggak bilang kalau nggak boleh ada housewives lagi. Tapi harus ada hak-hak. Kenapa negara tidak pernah hadir untuk hal-hal ini? Ini memang hal privat, tapi nyata kan diskriminasinya? Kenapa di rumah tangga nggak punya UMR, sehingga kalau mereka menderita jadi nggak keliatan juga? Hal-hal ini harus diperhatikan, jangan sampai terdiskriminasi perempuannya.

Kemudian ada perspektif baru lagi yang muncul; feminist post-structuralist, yang mengkritik critical theory. Mereka bilang kalau critical theory tidak cukup hanya emansipasi ide, karena proses kita berpikir memarjinalkan bukan sesuatu yang kita sadari, tapi mereka fokus pada penggunaan bahasanya, sehingga struktur bahasa sekarang itu dikotomi; bodoh yang ter-imply itu tidak pintar. Kenapa bisa ada kesenjangan? karena kalau membicarakan laki-laki itu tidak feminin.

Bahasa yang ada sekarang mereka meninggikan laki-laki secara implisit membawa sesuatu yang negatif terhadap perempuan.

Gerakan feminisme yang sudah ada itu level analisisnya bukan individu, ini yang kata dosen saya masih banyak yang terjebak social totality. Hak perempuan universal itu western biased, nggak sensitif dengan isu perempuan dengan culture yang berbeda (nggak semua perempuan sama, tiap perempuan nggak banyak bedanya tapi secara kultural banyak bedanya, jadi jangan disetarakan). Different women have different needs. Setiap kali ingin menciptakan struktur, akan ada orang yang beranggapan struktur itu nggak adil. Ya udah, nggak usah dibikin struktur kalau mau semuanya emancipated.

. . .

Perempuan berhijab diskriminasi atau emansipasi?

Dalam agama Islam, perempuan harus menggunakan atribut tertentu. Beberapa teman saya bilang kalau untuk menjawab pertanyaan di atas bisa dilihat dari lingkungannya; kalau di Amerika didiskriminasi, kalau di negara muslim itu mulia. Pemikiran ini harus dihilangkan. Nanti akan saya bahas harusnya melihatnya dari perspektif seperti apa.

Gender Equality vs Sexual Liberation

Majalah Playboy; yang satu kebebasan berpakaian, satu lagi bilang eksploitasi perempuan.

Prostitusi; bebas memilih pekerjaan, satu lagi bilang sexual exploitation.
Berkerudung; kebebasan perempuan exercising her freedom, satu lagi bilang diskriminasi karena struktur agamanya yang membuat
Berkerudung; kebebasan perempuan exercising her freedom, satu lagi bilang diskriminasi karena struktur agamanya yang membuat mereka menjadi lebih ‘ribet’ hidupnya daripada laki-laki.

Gender Oppression vs Empowerment

Kita secara nggak langsung didiskriminasi sama struktur yang ada, yang kita butuhkan yaitu feminist consciousness. Maksudnya, kita nggak bisa memutuskan judgement perempuan itu empowered atau oppressed. Nggak cukup melihat apa yang dilakukan, tapi kita harus cari kenapa dia melakukan hal itu. Dengan perspektif seperti itu, kita punya yang namanya feminist consciousness.

Mereka bebas memilih, kalau tetap berani berkerudung itu berarti dia empowered. PSK itu oppressed kalau memang nggak mampu secara finansial, terpaksa kerjanya. Kemudian, perempuan-perempuan di Tinder yang jadi sugar baby bisa jadi empowered kalau memang mereka memilih untuk jadi sugar baby, i mean daripada jadi barista habisin waktu berjam-jam kan, jadi sugar baby bisa cuman weekend misalnya. ITU PILIHAN YANG COCOK BUAT DIA, ini yang saya maksud feminist consciousness.

Konsep feminisme itu bukan memilihkan pilihan orang-orang, tapi kita perluas opsi yang bisa mereka pilih.

Lihat mereka dari level individu, makanya harus cari tahu why she chose this kind of work, ngobrol sama semua psk misalnya.

--

--